Mungkin saya dulu bisa dikategorikan orang yang half-introvert, karena kalau sudah berhadapan dengan orang baru, seringkali lebih banyak diam dan mundur dibandingkan meladeni pembicaraan.
Ternyata memang usia memiliki parameter nya sendiri. Karena waktu itu mungkin masih sangat muda, kekhawatiran atas pertanyaan balik (challenge) dan sikap-sikap yang perlu ditunjukkan masih bingung harus menempatkannya bagaimana.
Sekarang mungkin karena dianggap "paling senior" diantara kumpulan beberapa anggota kelompok, entah di lingkungan kerja atau di masyarakat, tiba-tiba saja kita di dapuk untuk menjadi pembicara. Sambutan pembukaan, pendapat atau hal lainnya yang kadang kita terpaksa harus mengungkapkan atau menyampaikan secara baik di muka umum.
Pengaruh lingkungan memang menjadi faktor yang sangat berpengaruh terhadap kematangan kita dalam berkomunikasi dihadapan umum. Sebut saja beberapa etnis suku tertentu, yang seringkali kita melihat mereka sangat cakap dalam menyampaikan pendapatnya. Ternyata kebiasaan tersebut sudah menjadi lumrah di budaya mereka, anak-anak yang muda pun sudah diminta untuk menyampaikan pendapatnya.
Beda banget ya, dengan kita 'Suku Jawa', yang seringkali menjadi muda adalah kesalahan apabila kita berbicara mendahului yang tua. "Kowe kuwi sik arek, sik ono sing tuwo, ojo keladuk". Padahal event nya bukan event formil, tapi kesan *salah* menjadi melekat dibenak kita entah dalam berbagai situasi dan event apapun.
Banyak dari kita juga sering keliru menyatakan bahwa 'komunikasi' lebih kepada kondisi lebih pada kuantitas banyaknya pembicaraan. Dalam pandangan saya, komunikasi terjadi manakala kita 'tepat' memberikan respon, pada konteks waktu dan isi. Karena kekeliruan tersebut, banyak rekrutasi yang hanya melihat kemampuan 'talkative' nya dibandingkan isi.
Olehnya saya jadi pengen membuatkan ruang untuk anak-anak muda, diberikan wadah menyampaikan pendapat dan penalarannya. Jika mereka mendapatkan ruang yang tepat, mentor yang tepat, saya yakin akan banyak anak-anak muda binaan menjadi sukses dimasa depannya.
Bagaimana dengan kita sendiri?
Ya, apapun kita ini produk lama. Produk yang masih banyak batasan-batasan untuk 'salah'-nya sebuah komunikasi. Ketakutan menyampaikan, dan kadang yang nekat, juga menjadi tidak tepat.
Bahkan kadang kita terjebak komunikasi yang membekas urusan hati ðŸ¤. Menjadi kikuk dan salah dalam menuangkan isi jawaban atau respon.
Teman, satu hal yang perlu kita sadari adalah posisi kita saat ini. Kikuk dan canggungnya kita, itu karena kita menjadi flashback pada seakan situasi itu terjadi di masa lampau.
Pikiran jadi terbawa, lupa usia, lupa status dan posisi ðŸ¤ðŸ¤ðŸ¤.
Dalam ilmu CQ (Cultural Quotient) terdapat 3 (tiga) hal. Knowledge, Mindfullness dan Behavioral Changes.
INGAT!. Ada 'mindfullness', bahwa kita harus tetap berpijak (mancik lemah) dan dengan kesadaran penuh saat terjadinya komunikasi. Dan fokuslah pada purpose terjadinya komunikasi.
Komunikasi kelompok itu akan lebih mudah dibandingkan justru komunikasi personal. Hanya terkadang menjadi sulit karena kita menempatkan orang lain sebagai juri atas pilihan kata dan kalimat yang kita keluarkan.
Tetaplah fokus pada tujuan keberadaan kita secara komunikasi dalam sebuah kelompok.
Memang terjebak pada batasan asumsi dan persepsi orang lain itu menjadikan salah langkah. Tips-nya? "Berlatih".
Selalu ingatlah pada tujuan besar kita. Muamalah kebaikan, shodaqoh jariyah ilmu, menjalin silaturahim.
Membungkus akhir tulisan ini, ingin saya mengajak kepada rekan-rekan Alumni semuanya, yuk:
Kadang hati itu sulit dilupakan karena ia berbalut, kenangan. Tapi ingat, perjalanan ke depan pun akan membentuk kenangan. Yang berkualitas dan sampai menutup mata.
Triaji Mahameru Lahardi
Alumni 96 Smanisda