(Dengarkan audio cerpen disini)
Pagi itu, aroma tumisan bawang putih dan serai memenuhi dapur kecil di sudut rumah. Bu Nani berdiri di depan kompor, sendok kayu di tangan, mengaduk sayur asem dalam panci besar. Di sampingnya, wajan berisi ayam goreng mulai menguning sempurna. Satu per satu lauk tersaji di meja, persis seperti dulu saat anak-anaknya masih kecil—porsi besar, tiga lauk, lengkap dengan sambal terasi dan kerupuk.
Padahal, tak ada yang akan makan selain dirinya.
“Ah, siapa tahu Rina mampir siang ini,” gumamnya sambil merapikan sendok di atas meja. Ia tahu, Rina sibuk dengan kerjaannya di kota. Dani juga, adiknya, sudah dua tahun kerja di Kalimantan dan baru pulang lebaran kemarin. Tapi entah mengapa, tangan Bu Nani selalu otomatis menakar nasi untuk lima orang.
Meja makan itu dulunya riuh. Suara sendok beradu, tawa Dani yang suka godain Rina, dan omelan kecil Bu Nani yang menyuruh mereka habiskan sayur. Kini hanya ada denting jam dinding dan suara televisi dari ruang tengah.
Hari-hari seperti ini membuat waktu berjalan lambat. Makan siang tiba, tapi tak ada dering bel atau suara motor berhenti di halaman. Bu Nani duduk, menyendok nasi ke piring, lalu melirik kursi-kursi kosong di sekeliling meja. Ia tidak sedih, hanya… kosong. Seperti ada gema yang menggantung di hati tiap kali ia menatap piring yang tetap bersih, tak terjamah.
Sore menjelang, makanan dimasukkan ke kulkas satu per satu. “Besok bisa dihangatkan,” katanya pada diri sendiri, seperti penegasan bahwa semuanya tidak sia-sia.
Malam itu, video call dari Rina datang. Hanya lima menit, tapi cukup membuat Bu Nani tersenyum. “Iya, tadi Mama masak sayur asem. Iya, pakai labu juga, kesukaan kamu,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Setelah panggilan itu, ia duduk lagi di meja makan. Menatap piring-piring kosong, tapi kali ini dengan dada yang sedikit lebih hangat.
Karena bagaimanapun, meja makan ini mungkin sepi, tapi kenangannya masih ramai.
--------------------
Versi Lagu: Meja Makan yang Tetap Penuh (Dengarkan lagu disini)
(Verse 1)
Pagi datang, dapur mulai bicara
Aroma sayur, ayam, dan sambal terasa
Sendok-sendok tertata rapi di meja
Walau tak ada yang duduk di sana
(Verse 2)
Dulu ada tawa, rebutan cerita
Sekarang hanya suara jam di dinding tua
Tapi tanganku tetap setia
Masak untuk yang pernah ada
(Chorus)
Meja makan ini tetap penuh
Meski kursinya mulai sunyi
Karena kasih tak kenal waktu
Selalu ada meski tak terlihat lagi
Kalian jauh, tapi tak pernah pergi
Di dapurku, kalian tetap di sini
(Verse 3)
Kadang ada kabar lewat layar kecil
Lima menit cukup buat hati ini stabil
“Masih pakai labu ya, Ma?” kamu bilang
Dan aku tersenyum, lupa sebentar yang hilang
(Chorus)
Meja makan ini tetap penuh
Meski hanya aku yang sendiri
Karena cinta tak butuh ramai
Cukup kenangan dan hati yang terisi
Kalian jauh, tapi tak pernah pergi
Di dapurku, kalian tetap di sini
(Bridge)
Mungkin nanti kalian kembali
Mencicip rasa yang tak pernah mati
Tapi bila tidak pun tak apa
Meja ini akan tetap punya cerita
(Final Chorus)
Meja makan ini tetap penuh
Bukan karena jumlah piring di sisi
Tapi karena cinta yang tertinggal
Di setiap suap, di setiap hari
Kalian jauh, tapi tak pernah pergi
Di hatiku, kalian tetap di sini